Panasnya matahari menyengat peluh seorang pemuda yang
berjalan mengitari lorong koridor di tempat dia bekerja. Peluh yang seakan
diterpa hujan badai membasahi separuh tubuhnya. Sepertinya AC di kantor itu
rusak dan membuat suasana bertambah panas.
Dia kembali ke mejanya dan berusaha bekerja dengan suasana
yang sangat tidak nyaman. Ruangan itu tidak begitu besar dan hanya dirinya lah
yang berada disana. Mata nya melirik ke arah pendingin ruangan yang masih saja
rusak.
Yah beginilah jikalau memakai pendingan sentral. Keluhnya
dalam hati.
Kembali memandangi data financial di laptopnya dan mencari
data karyawan yang berada di bawah tanggung jawabnya. Menelaah sedikit demi
sedikit akan pertemuan yang beberapa menit tadi berjalan.
Yah aku memang tidak mengerti dan tidak merasakan seperti
apa punya keluarga. Aku memang belum menikah. Tapi apakah layak jikalau status
berkeluarga disangkut pautkan dengan pekerjaan? Senyuman miris menghiasi sudut
bibirnya yang kering.
Kembali teringat akan beberapa statement yang di lontar
mereka yang berada dibawah tanggung jawabnya. ‘Kita yang menjalankan, jadi
bapak tidak mengerti. Bapak kan belum berkeluarga jadi tidak mengerti akan apa
yang kita rasakan’.
Bagaikan ditampar ketika salah satu mereka mengutarakan hal
itu tepat di depan wajahnya. Seluruh emosi yang berusaha di redam hampir saja
meruak keluar dari ubun-ubun. Wajahnya pun menjadi kaku seperti marmer dan dia
menelan ludahnya sendiri.
Ego? Aku pikir aku tidak egois dalam hal itu. Dan wajar
jikalau aku menegur mereka dan mengarahkan ke arah yang sesuai dengan prosedur.
Sekarang, dimana letak salahnya? Bukankah aku adalah atasan mereka? Bukankah aku
yang memegang kendali? Bukankah aku yang mempunyai wewenang akan apa yang akan
ku limpahkan?
Pemuda itu tertawa miris kembali sambil menatap laptopnya.
Percuma! Percuma aku melakukan koordinasi, perencanaan dan
pengawasan jikalau aku tidak boleh menggunakan wewenang yang aku punya. Dan yang
gilanya lagi malah mereka yang mengarahkan apa yang harus aku lakukan. Lalu apa
fungsi ku disini? Apa aku hanya orang pengambil data kemudian tidak melakukan
verifikasi dalam segala hal dan melangkah pergi begitu saja tanpa ada tanggung
jawab dengan apa yang aku dapat? Apa aku hanya orang yang dianggap ‘masih’
sangat hijau dalam pekerjaan? Apa aku hanya ‘boneka’ saja jikalau terjadi sidak
maka yang bertanggungjawab akan pekerjaan mereka adalah AKU?
Tidak! Ini tidak benar. Semua masukan mereka bisa
menyesatkanku kembali ke dalam ruang waktu yang pernah aku singgahi. Dan aku
tidak sudi untuk mengunjungi ruang itu kembali.
Pemuda itu menyandarkan punggung dan kepala nya ke dalam
kursi yang sudah 3 tahun ini setia menemaninya.
Ya tuhan. Sudah 3 tahun lamanya aku bekerja disini tapi
kenapa semua kejadian setiap tahun berulang. Sepertinya itu menjadi kisah lama
yang terulang terus menerus. Apa aku salah jikalau aku ingin melakukan
perubahan sedikit demi sedikit untuk kepentingan mereka?
Menikah? Heh? Aku baru menyadari jikalau aku belum melakukan
hal itu. Aku selalu saja sibuk dengan pekerjaanku sendiri. Sangat terfokus dengan
perumusan, pelaporan dan pengrekapan yang senantiasa ku lakukan tanpa harus
disuruh. Dan mereka malah menyinggung soal menikah kepada ku.
Sepertinya kata itu langsung membuat ku terdiam ditempat. Terpaku
bagaikan pohon musim gugur yang menunggu datangnya musim dingin.
Pemuda itu menghela nafas panjang dan melepaskan kacamatanya
kemudian memejamkan matanya yang penat seharian ini.
Satu hal yang tidak aku pikirkan adalah masalah yang satu
itu. Aku menyadari beberapa kerabat dan teman-teman ku begitu pula keluarga ku
sudah menanyakan hal yang sama. Hanya saja entah kenapa pekerjaan selalu mengambil porsi setengah dari
isi otak ku.
Menyita hampir 24 jam yang aku miliki dalam satu hari. Bahkan
aku dianggap pembual karena aku tidak bisa menepati janji dengan mereka yang di
luar sana sangat menyimpan simpati kepada ku. Ah aku benar-benar merasa
bersalah jikalau mengingatnya.
Terkadang aku malah bertanya apa yang ku cari selama ini? Aku
merasa pencarian ku tidak akan putus suatu saat. Entah aku yang harus
mengakhiri atau memang takdir ku lah yang mengakhiri pencarian itu. Hidup
sangatlah rumit. Hidup tidak bisa menggunakan rumusan phitagoras yang selama
ini aku pelajari di bangku sekolah.
Hidup seperti sebuah seni yang tertuang di dalam kanvas dan
berubah menjadi sebuah lukisan dimana pelukisnya adalah aku sendiri. Dan mereka
malah menjudge ku tidak mengerti. Aneh! Benar-benar sangat aneh.
Pemuda itu kembali terkekeh.